Gemercik air sungai
yang dangkal dengan ikan-ikan yang berenang lincah didalamnya membuat seorang
anak kecil terkesan. Terbersit di benaknya, “Mengapa ikan itu dapat bergerak
begitu lincah di air tanpa bantuan tangan maupun kaki?” Tiba-tiba Zikar datang
dengan teganya mendorong Arsa yang memandang ikan-ikan itu ke dalam sungai.
“Hahahahaha....
Lihatlah kau yang begitu lemah Arsa! Kau tahu mengapa ikan itu sangat hebat
berenang tanpa kaki maupun tangan? Itu karena mereka punya otak cerdas di
kepalanya, bukan seperti dirimu yang bahkan lupa dimana otakmu berada.
Hahahaha... Coba saja kau lempar batu yang ada di tanganmu hingga mengenai
diriku”
Arsa semakin kesal
dengan ucapan Zikar yang begitu menjengkelkan. Arsa berusaha membuktikan
kemampuannya dengan melempar batu itu. Batu itu tidak sedikit pun mengenai
Zikar, namun tepat mengenai jendela rumahnya. Zikar sangat marah, dia
menghampiri dan mencengkeram leher Arsa. Arsa berusaha menjelaskan bahwa ia
tidak sengaja melakukan itu, namun Zikar tidak menghiraukannya dan tetap
memukulinya. Kemarahan Arsa pun terpancing dan ikut memukul Zikar hingga
berdarah. Kemudian Arsa pergi meninggalkan Zikar, berlari dan terus berlari
jauh dari sana. Dia merasa lelah dan terjatuh begitu rapuh. Anak yang berusia 9
tahun ini hanya bisa menyembunyikan duka laranya, dengan harapan akan ada orang
yang mengerti dengan apa yang ia hadapi.
Senja sudah memeluk
bumi, Arsa pun bergegas pulang ke rumahnya sambil menerbangkan layang-layang.
Sesampainya di rumah, bukanlah belaian kasih yang ia dapatkan, namun pukulan
menyakitkan dari ayahnya.
“Arsa!
Sampai kapan aku harus menangggung malu atas kenakalanmu, kecerobohan dan
kesalahan yang kau buat bertubi-tubi memberi aku petaka! Tidakkah bisa kau mirip
sedikit saja dengan Arya? Dasar idiot!”
Pukulan itu biasa ia
terima dari ayahnya bukan hanya saat itu. Namun tidak pernah ada kata-kata yang
lebih menyakitkan dari pada hari itu. Arsa tidak menyadari apa sebenarnya
kekurangannya, apa yang membuat dia begitu berbeda dengan kakaknya, apa yang
membuat ia selalu disebut Idiot.
Malam berlalu begitu
cepat dan siap menyambut fajar. Ayah Arsa (Tuan Asta) selalu tepat waktu,
bangun pagi dan bersiap pergi ke kantor. Begitu pula dengan Arya, sebelum
berangkat sekolah dia tidak enggan mempelajari bukunya kembali sembari sarapan
pagi. Semua persiapan itu tidak akan selesai tanpa bantuan dari Nyonya Arista
(Ibu Arsa), yang bangun lebih awal dari semua orang di rumah, dengan melakukan
segala persiapan yang terbaik untuk keluarganya. Lain halnya dengan Arsa, dia
bangun bahkan 10 menit sebelum gerbang sekolah ditutup. Ibu Arsa sering
memarahinya karena kebiasaan bangun siangnya, dan masih sempat berbain sabun
saat mandi. Tiba-tiba bel sekolah sudah berbunyi dengan jarak 100 meter dari
rumahnya. Ibu Arsa dengan cepat memakaikan seragam Arsa dan menggendongnya
kemudian berlari menuju sekolah. Sesampainya di sekolah begitu tepat waktu,
semua siswa sudah mulai memasuki kelas dengan tertib.
Suasana di kelas begitu
sunyi, semua siswa memperhatikan penjelasan gurunya, kecuali Arsa. Dia melamun
memandang keluar jendela melihat tetesan air diatas batu yang pecok. Dia
berpikir mengapa batu yang begitu keras bisa dibuat pecok oleh tetesan air kecil
itu.
“Asssttaaaa...!!!
Baca teks pada halaman 31, paragraf 13, kalimat ketiga dengan lancar! Ayo
cepat!”
“A...aru#zxbwhc&&%vxjvhvsx$%##$...”
“Cukup!
Cukup Arsa! Apa yang kau baca sebenarnya? Kau sekarang sudah kelas 3, kau
tinggal kelas sudah 2 kali. Jika ujian nanti kau tidak lulus, kau akan aku
keluarkan dari sekolah ini! Sekarang keluar dari kelasku! Idiot!”
Arsa keluar dari kelas
dengan wajah tertunduk, menuruni satu persatu anak tangga, keluar dari sekolah
tanpa sepengetahuan guru, tanpa sadar dia telah bolos sekolah. Hari itu ia
habiskan dengan berkeliaran di jalanan, berjalan diantara orang-orang tak
dikenal, melihat orang-orang melakukan pekerjaannya. Semua itu dia saksikan
sendiri hingga siang menjelang dan itu mengingatkan ia harus segera pulang ke
rumah. Sesampainya di depan pintu rumah, dia mendengar pembicaraan orang tuanya
dengan kepala sekolah. Tiba-tiba pintu terbuka, kepala sekolah memandang Arsa
dengan sinis dan bergegas pergi dari hadapannya. Tuan Asta menarik tangan Arsa
dan melempar anaknya ke lantai karena mendapat berita Arsa yang berani bolos
sekolah. Nyonya Arista berusaha membujuk suaminya, namun ia tidak dihiraukan
sama sekali. Tuan Asta menelepon seseorang dalam kemarahannya itu. Arsa tidak
berani bicara pada ayahnya atau ibunya, ia pun bertanya pada kakaknya. Namun, Arya
pergi meninggalkan adiknya yang sedang dirundung kesedihan, merasakan tekanan
dari segala sisi hanya sendirian, tidak ada yang mengerti dengan apa yang ia
alami termasuk dirinya sendiri.
Setelah mentari kembali
di pagi hari, Arsa bersama keluarganya pergi dengan semua barang-barang Arsa.
Di perjalanan Arsa selalu bertanya kemana ia akan dibawa, namun tidak satupun
yang menjawabnya termasuk ibunya. Kemudian mobil dihentikan di depan sebuah
sekolah asrama yang terkenal dengan kedisiplinan siswa dan pengajarnya. Arsa
diperkenalkan kepada kepala sekolah dan ia diberikan penjelasan mengenai segala
aturan yang ditetapkan disana. Dia mengira, semua keluarganya akan tinggal
bersamanya disana. Setelah perbincangan itu semua keluarganya memasuki mobil,
saat Arsa ingin naik ke mobil, kepala sekolah memegang bahunya dan menyuruhnya
turun. Ayahnya menutup pintu mobil dan segera pergi tanpa bicara pada anaknya. Arsa
merasa terpukul dan melamun begitu lama memandang jalanan yang dilewati mobil
ayahnya tadi hingga malam tiba. Kepala sekolah menyuruhnya masuk, bersiap untuk
makan malam dan istirahat. Arsa masuk dengan lemas, tidak sedikit pun ia
menyentuh makanan malam itu, saat semua temannya tidur, ia mulai menangis tanpa
suara.
Saat pagi tiba, semua
siswa sudah bersiap sendiri-sendiri. Arsa juga tidak ingin terlambat kali ini,
namun ia terbiasa dengan kalung dasi yang biasa ia pakai dengan mudah. Sekarang
ia memakai dasi yang harus ia anyam sendiri, seorang pengurus asrama datang
menghampirinya dan membantunya memakai dasi tersebut. Semua siswa mulai
memasuki kelas dan siap menerima pelajaran dari gurunya. Guru pun mulai menggambar
satu bentuk “Bintang”, guru menyuruh siswanya untuk membuat kalimat sesuai
dengan bentuk itu, dan siswa yang ditunjuk adalah Arsa. Arsa tampak ragu, namun
ia berusaha untuk mencoba.
“Bintang
adalah benda langit terindah yang meski hanya terlihat di malam hari, dia tidak
pernah berhenti bersinar dengan sinarnya sendiri”
“Heyyyy.....
Apa yang kau katakan, Nak? Itu sama sekali tidak benar! Cotte coba kau yang
kalimatkan!”
“Baik
pak! Bintang adalah benda langit mampu memancarkan cahayanya sendiri”
“Bagus
Cotte! Dengar Arsa, kau harus belajar dari teman-temanmu disini jangan lain-lain!”
Arsa pun duduk kembali
dengan kepala tertunduk. Dharma, teman sebangkunya merasa iba, “Arsa, kau tidak
perlu berkecil hati. Pak Haris memang selalu mengulang kalimat itu saja. Dia
memang pintar membuat kalimat, tapi dia tidak sehebat dirimu yang bisa membuat
sajak”. Arsa tersenyum dan merasa terhibur dengan ketulusan Dharma, sejak saat
itu mereka pun berteman.
Hari demi hari dijalani
oleh Arsa di sekolah asrama yang disiplin itu. Namun, ia tetap tidak bisa
mengikuti semua aturan yang berlaku meskipun ia berusaha. Arsa terus saja
melihat huruf itu berlarian seolah mengejarnya, merayap di dinding, di kaki,
dilehernya seperti serangga yang begitu mengerikan. Kata “Idiot” pun kini biasa
didengar olehnya, guru-guru yang selalu menuntut dirinya untuk seperti ini,
seperti itu, menekannya dari segala sisi, hingga dia merasa begitu tenggelam
dan takut menghadapi dunia.
Setelah begitu lama
terpisah dari keluarganya, akhirnya ia mendapatkan telepon.
“Halo
Arsa, bagaimana kabarmu, Nak? Ibu sangat rindu padamu, Ibu minta maaf saat
liburan nanti kami tidak bisa menemuimu karena kakakmu akan mengikuti lomba
lari dan kami harus mengantarnya dan memberi dukungan. Doakan keberhasilan
untuk kakakmu ya, Nak. Arsa...halo...halo Nak, apa kau mendengar ibu?”
Arsa begitu kecewa
dengan kabar yang diterimanya, berharap akan dijemput dan disambut hangat oleh
keluarganya, sebaliknya ia dihukum dengan terpisah begitu lama dengan keluarga.
Dia kembali menangis tanpa suara, bahkan kini tanpa air mata. Jeritan ketakutan
dalam hati kembali meradang dirinya kala pelajaran seni akan dimulai. Seorang
pecinta lukisan seperti dirinya yang selalu hiasi hari dengan warna kini hanya
tinggal hitam dan putih dalam dunianya. Kelas seni bahkan tidak ingin ia
datangi meski sedetik saja, namun Dharma tetap membujuknya untuk tidak bolos
kelas. Arsa mendengarkan perkataan Dharma, ia terus saja melihat keadaan Dharma
yang tidak seperti dirinya, anak laki-laki yang mengalami kelumpuhan seumur
hidupnya tetap berjuang untuk mengetahui rahasia dunia.
Suasana kelas yang
begitu tegang terliat disetiap gerak-gerik siswa-siswa kelas 3 ini, seolah
tidak ada guru yang lebih kejam dari guru seninya. Imajinasi yang selalu
dibatasi dengan garis tepi, warna menjadi monokrom kala kelas seni dimulai.
Tiba-tiba ada suara biola yang sangat nyaring dan indah, mengundang rasa
penasaran siswa-siswa itu. Awalnya begitu jauh, kemudian semakin mendekat,
namun beberapa saat kembali menjauh dan hilang. Semua anak mendekati tempat
dimana suara itu terakhir terdengar, kecuali Arsa yang tetap dengan
keterpurukannya. Datanglah seorang yang kerdil membawa biola dengan kostum yang
sangat aneh, itu membuat semua anak terkejut dan menjauh ketakutan. Orang
kerdil ini kembali memainkan biolanya dan bernyanyi untuk mendekati anak-anak.
Semua anak itu begitu gembira dan terhibur dengan tingkah lucu orang kerdil
ini, hingga mereka pun ikut bernyanyi dan menari dengannya. Namun sampai
kegembiraan itu berakhir, Arsa tetap termenung di tempat duduknya. Hal itu
membuat orang kerdil menjadi bingung dengan apa yang telah dialami Arsa.
Suasana kelas kembali
tenang, orang kerdil pun memperkenalkan diri sebagai pengajar seni yang baru di
sekolah itu, karena Tuan Zekar sedang bertugas di luar negeri. Koko Guna
Kumara, itulah nama guru baru dengan perawakan kerdil itu. Setelah perkenalan,
tiba-tiba Arsa dipanggil oleh Tuan Dena (guru matematika) untuk mengikuti
pelajaran tambahan di kantor guru. Keluarnya Arsa dari ruang kelas itu
bersamaan dengan bunyi bel istirahat. Semua siswa berhamburan keluar dari
kelas, Tuan Koko pun ikut berlarian dengan mereka dengan begitu riangnya. Di
tengah kebisingan siswa-siswa yang sedang bermain, Tuan Koko mendengar suara
pukulan penggaris. Takk....takkk...takk...takkkk.. Begitu keras dan bertenaga,
Tuan Koko pun mendekati suara itu dan melihat Arsa dipukuli oleh Tuan Herry
(Guru Bahasa) di ruangannya. Tuan Koko langsung menghentikan Tuan Herry yang
hendak melanjutkan pukulannya pada Arsa.
“Mengapa
kau melakukan ini pada anak kecil?”
“Dengar!
Arsa bukanlah bayi yang perlu dimaafkan atas semua kesalahannya”
“Maaf
pak. Tapi sebaiknya bapak meminta izin kepada orang tuanya dan kepala sekolah
sebelum melakukan ini”
Tuan Herry melempar
penggaris dan meninggalkan tempat itu. Tuan Koko mendekati Arsa, namun ia
berlari keluar dari ruangan itu dengan begitu ketakutan. Tuan Koko bingung
dengan tingkah laku Arsa, kemudian ia segera mencari tahu semua informasi
tentang Arsa di kantor guru. Dia membongkar semua lemari arsip siswa di sekolah
itu, kemudian ia menemukan catatan dan buku-buku bekas Arsa. Disana terlihat
caranya menulis yang buruk, bukan karena tulisannya yang tidak rapi tetapi
karena huruf-huruf ditulis dengan kebalikannya. Apple ditulis Ebbla, Ada
ditulis Aba, disana terlihat semakin ia mencoba untuk mengerjakannya semakin
parah kesalahannya. Tuan Koko mengira bahwa Arsa mengalami disleksia yang
merupakan gangguan/ketidakmampuan membaca dan menulis dengan benar. Tuan Koko memutuskan
untuk memanggil orang tua Arsa dan mengundang kepala sekolah dalam pembicaraan
yang akan mereka lakukan.
Dua hari kemudian orang
tua dan kakak Arsa datang, kepala sekolah dan Tuan Koko sudah menunggu di
ruangan kepala sekolah. Tuan Koko pun memulai pembicaraan dan langsung pada apa
yang sebenarnya dialami Arsa, namun orang tua Arsa dengan cepat menyangkalnya dan
meninggalkan ruangan dengan kemarahan. Kepala sekolah mencoba membujuk mereka
tapi mereka tidak mendengarkan. Tuan Asta membuka pintu belakang mobil, dan
beberapa kardusnya jatuh dari sana. Tuan Koko membantu Tuan Asta meskipun Tuan
Asta tidak mengijinkannya, kemudian Tuan Koko melihat lukisan dan secarik
kertas bertuliskan puisi yang sangat indah.
“Pak
Asta, siapa yang membuat lukisan dan puisi ini?”
“Arsa
melukis ini dan ia juga yang mengarang puisi ini, sedangkan aku hanya membantu
menulisnya. Tapi ayah ingin membuangnya, pak”, jawab Arya.
Orang tua dan kakak Arsa
bergegas pergi meninggalkan sekolah tanpa menanyakan atau menengok Arsa. Tuan
Koko begitu heran, kemudian kembali ke ruang kepala sekolah dan menunjukkan
lukisan serta puisi itu. Tuan Koko menceritakan semuanya dan ingin memberikan
pembinaan khusus pada Arsa setiap hari Minggu. Kepala sekolah awalnya tidak
mengijinkan, namun setelah berpikir panjang kepala sekolah akhirnya
mengijinkan.
Setiap hari Minggu Tuan
Koko mengajari dengan menggunakan berbagai aplikasi serta ilustrasi. Dia
mengajari berhitung dengan permainan naik turun tangga, belajar mengenali huruf
dengan melukisnya, sampai akhirnya Tuan Koko mulai melatih Arsa menulis di buku
tulis lagi, awalnya Arsa tidak menginginkannya, tetapi Tuan Koko berhasil
membujuknya dan Arsa pun mulai belajar
menulis beberapa huruf. Kemudian ia rangkai menjadi kata dan kalimat dengan
bantuan Tuan Koko. Setelah hari mulai sore, Tuan Koko memberikan Arsa bermain
game yang merangsang kecepatan dan ketepatannya. Minggu berikutnya, Arsa
semakin mahir menulis bahkan ia bisa menulis dengan cepat tanpa kesalahan. Tuan
Koko terharu melihat kegigihan Arsa, dia tidak menyangka Arsa bisa belajar
dengan baik.
Beberapa bulan telah
berlalu, tiba saatnya kenaikan kelas. Tuan Koko memberi saran kepada kepala
sekolah untuk mengadakan lomba melukis yang tidak biasa, yaitu melukis dengan
membuat puisi sebagai makna dari lukisan yang dibuat. Kepala sekolah langsung
setuju tanpa berpikir panjang, Tuan Koko pun segera membuat pengumuman itu dan
disebarkan kepada seluruh siswa, selain itu di dalam acara itu semua keluarga
siswa wajib diundang untuk ikut serta dalam lomba. Arsa dan teman-temannya
melihat pengumuman itu bersama-sama, awalnya Arsa merasa senang namun ia
teringat bahwa orang tua terutama ayahnya sangat membencinya bahkan tidak ingin
menemuinya sampai saat ini. Tuan Koko datang dan menepuk pundak Arsa dan
tersenyum,“Arsa, orang tuamu pasti datang”. Arsa tersenyum dan memutuskan untuk
mengikuti lomba itu.
Fajar hampir
menampakkan dirinya, hari perlombaan pun tiba. Arsa mulai bersiap, berpakaian
dan menyisir rambut dengan begitu rapi. Dia mengingat ketika ia pernah
merasakan dipakaikan seragam dan saat ketika rambutnya disisir oleh ibunya,
tanpa sadar ia menangis di depan cermin. Kemudian, dia pergi menyendiri dan
memandang matahari terbit. Perlombaan sudah akan dimulai, namun Arsa belum tiba
di taman sekolah. Semua siswa dan orang tuanya sudah berdatangan, bahkan orang
tua dan kakak Arsa sudah tiba di taman. Tuan Koko sangat khawatir dengan Arsa,
dia curiga jika Arsa mulai terpuruk lagi. Namun kecurigaan itu segera musnah,
ketika Arsa terlihat datang dari kejauhan. Tuan Koko sangat bersemangat dan
dengan segera memberikan kertas lukis, cat air, dan kertas tulis, namun Arsa
menolak diberikan cat air karena ia ingin menggunakan cat yang diberikan oleh
ayahnya. Kemudian ia pergi, duduk di bawah pohon untuk mencari ketenangan dan
kebebasan, jauh dari orang tua, kakak dan teman-temannya.
Setengah jam telah
berlalu, semua siswa, orang tua, dan guru-guru terlihat antusias mengikuti
perlombaan. Ada yang membuat lukisan terlebih dahulu dan adapula yang fokus
membuat puisi saja. Sedangkan Arsa, sudah hampir menyelesaikan lukisannya dan
segera menulis puisinya. Waktu perlombaan telah berakhir, semua lukisan dan
puisi dikumpulkan untuk dinilai dan pemenangnya akan diumumkan serta
mendapatkan penghargaan, karyanya akan diterbitkan di majalah sekolah dan buku
tahunan. Arsa mengharapkan lukisan dan puisinya akan menjadi juara kali ini.
Namun saat pemenang diumumkan, ternyata bukanlah dirinya. Semua orang bertepuk
tangan dengan keras dan meriah, kakak Arsa pun naik ke atas panggung dengan
bangga. Namun Arsa begitu kecewa, ia tampak sedih dan hendak pergi menjauh.
Tuan Koko kembali datang dan menepuk pundaknya.
“Heyyy...tapi
tunggu sebentar. Ternyata juri baru memutuskan bahwa ada yang lebih layak
menerima penghargaan ini. Dia adalah... Arsa Astarya. Ayo nak, naiklah..!”
Arsa terkejut, Tuan
Koko pun mendampinginya untuk naik ke atas panggung. Semua orang bertepuk
tangan dan semakin meriah, tampak begitu terkejut dengan perubahan Arsa. Dia
diberikan kesempatan untuk menjelaskan isi dari lukisan dan puisinya,
“Namaku
Arsa Astarya. Aku melukis seorang anak kecil yang duduk menepi namun tampak
lebih berwarna daripada orang dewasa disekitarnya, anak itu seindah warna alam,
langit dan dunia. Artinya setiap anak memiliki mimpi besar untuk dunia, setiap
anak istimewa, namun terkadang ia tidak diterima karena satu kekurangan, yang
bukan kekurangan baginya, tapi itu adalah hal yang unik untuk mengubah dunia ke
arah yang lebih baik. Dunia yang indah tanpa keegoisan, ambisi dan gengsi. Akankah
anak ini akan kalian biarkan beruang sendiri?”
“Tidak..!!!”, semua
orang menjawabnya, orang tua dan kakak Arsa juga menjawab bersama-sama. Semua
orang menangis dengan haru, orang tua dan kakak Arsa menghampiri dan memeluk Arsa,
bahkan guru-guru yang sangat membencinya ikut menangis dan malu menemui Arsa. Arsa
melihat ke segala arah mencari Tuan Koko. Tuan Koko kembali menepuk bahu Arsa, Arsa
berbalik, menangis dan memeluk Tuan Koko, “Terima kasih, terima kasih, terima
kasih, terima kasih pak...”
Tuan Koko terharu, ia
menghapus air mata Arsa dan berkata, “Berenanglah bebas seperti ikan dan
terbang lincah seperti burung, Nak. Jangan pernah menyerah, tetaplah seperti
ini, seperti bintang di bumi”
*~* TAMAT *~*
Gianyar, 20 Juni 2017
Cerita ini terinspirasi
dari film India berjudul “Taare
Zameen Par” yang dirilis pada 21 Desember 2007 dengan Aamir
Khan sebagai sutradara sekaligus turut andil sebagai tokoh guru dalam film ini.
Saya tipikal yang mudah terbawa perasaan saat menonton film terutama yang
dikemas dengan rapi dan detail seperti film ini.
Terima kasih
kepada Aamir Khan telah memberikan kami kesempatan untuk menikmati karya yang
luar biasa ini. Saya sangat menantikan karya terbaik lainnya.
Kardi Rahayu itulah nama saya, tinggal di Bali sedari kecil. Menulis merupakan hobi saya sejak SMA. Kelak, saya ingin menerbitkan tulisan saya agar bisa dibaca semua orang.
Jika kalian menyukai tulisan saya silahkan tinggalkan komentar dan apresiasi kalian di kolom komentar di bawah ini. Demikian pula apabila ada yang kurang dari karya saya, mohon diberikan komentar yang membangun. Jangan lupa di share juga ke teman-teman kalian ya!
Terima kasih pembaca cendekia ku!
Nice
ReplyDelete