Skip to main content

Arsa, Bintang Kecil Titipan Tuhan



Gemercik air sungai yang dangkal dengan ikan-ikan yang berenang lincah didalamnya membuat seorang anak kecil terkesan. Terbersit di benaknya, “Mengapa ikan itu dapat bergerak begitu lincah di air tanpa bantuan tangan maupun kaki?” Tiba-tiba Zikar datang dengan teganya mendorong Arsa yang memandang ikan-ikan itu ke dalam sungai.
“Hahahahaha.... Lihatlah kau yang begitu lemah Arsa! Kau tahu mengapa ikan itu sangat hebat berenang tanpa kaki maupun tangan? Itu karena mereka punya otak cerdas di kepalanya, bukan seperti dirimu yang bahkan lupa dimana otakmu berada. Hahahaha... Coba saja kau lempar batu yang ada di tanganmu hingga mengenai diriku”
Arsa semakin kesal dengan ucapan Zikar yang begitu menjengkelkan. Arsa berusaha membuktikan kemampuannya dengan melempar batu itu. Batu itu tidak sedikit pun mengenai Zikar, namun tepat mengenai jendela rumahnya. Zikar sangat marah, dia menghampiri dan mencengkeram leher Arsa. Arsa berusaha menjelaskan bahwa ia tidak sengaja melakukan itu, namun Zikar tidak menghiraukannya dan tetap memukulinya. Kemarahan Arsa pun terpancing dan ikut memukul Zikar hingga berdarah. Kemudian Arsa pergi meninggalkan Zikar, berlari dan terus berlari jauh dari sana. Dia merasa lelah dan terjatuh begitu rapuh. Anak yang berusia 9 tahun ini hanya bisa menyembunyikan duka laranya, dengan harapan akan ada orang yang mengerti dengan apa yang ia hadapi.
Senja sudah memeluk bumi, Arsa pun bergegas pulang ke rumahnya sambil menerbangkan layang-layang. Sesampainya di rumah, bukanlah belaian kasih yang ia dapatkan, namun pukulan menyakitkan dari ayahnya.
“Arsa! Sampai kapan aku harus menangggung malu atas kenakalanmu, kecerobohan dan kesalahan yang kau buat bertubi-tubi memberi aku petaka! Tidakkah bisa kau mirip sedikit saja dengan Arya? Dasar idiot!”
Pukulan itu biasa ia terima dari ayahnya bukan hanya saat itu. Namun tidak pernah ada kata-kata yang lebih menyakitkan dari pada hari itu. Arsa tidak menyadari apa sebenarnya kekurangannya, apa yang membuat dia begitu berbeda dengan kakaknya, apa yang membuat ia selalu disebut Idiot.
Malam berlalu begitu cepat dan siap menyambut fajar. Ayah Arsa (Tuan Asta) selalu tepat waktu, bangun pagi dan bersiap pergi ke kantor. Begitu pula dengan Arya, sebelum berangkat sekolah dia tidak enggan mempelajari bukunya kembali sembari sarapan pagi. Semua persiapan itu tidak akan selesai tanpa bantuan dari Nyonya Arista (Ibu Arsa), yang bangun lebih awal dari semua orang di rumah, dengan melakukan segala persiapan yang terbaik untuk keluarganya. Lain halnya dengan Arsa, dia bangun bahkan 10 menit sebelum gerbang sekolah ditutup. Ibu Arsa sering memarahinya karena kebiasaan bangun siangnya, dan masih sempat berbain sabun saat mandi. Tiba-tiba bel sekolah sudah berbunyi dengan jarak 100 meter dari rumahnya. Ibu Arsa dengan cepat memakaikan seragam Arsa dan menggendongnya kemudian berlari menuju sekolah. Sesampainya di sekolah begitu tepat waktu, semua siswa sudah mulai memasuki kelas dengan tertib.
Suasana di kelas begitu sunyi, semua siswa memperhatikan penjelasan gurunya, kecuali Arsa. Dia melamun memandang keluar jendela melihat tetesan air diatas batu yang pecok. Dia berpikir mengapa batu yang begitu keras bisa dibuat pecok oleh tetesan air kecil itu.
“Asssttaaaa...!!! Baca teks pada halaman 31, paragraf 13, kalimat ketiga dengan lancar! Ayo cepat!”
“A...aru#zxbwhc&&%vxjvhvsx$%##$...”
“Cukup! Cukup Arsa! Apa yang kau baca sebenarnya? Kau sekarang sudah kelas 3, kau tinggal kelas sudah 2 kali. Jika ujian nanti kau tidak lulus, kau akan aku keluarkan dari sekolah ini! Sekarang keluar dari kelasku! Idiot!”
Arsa keluar dari kelas dengan wajah tertunduk, menuruni satu persatu anak tangga, keluar dari sekolah tanpa sepengetahuan guru, tanpa sadar dia telah bolos sekolah. Hari itu ia habiskan dengan berkeliaran di jalanan, berjalan diantara orang-orang tak dikenal, melihat orang-orang melakukan pekerjaannya. Semua itu dia saksikan sendiri hingga siang menjelang dan itu mengingatkan ia harus segera pulang ke rumah. Sesampainya di depan pintu rumah, dia mendengar pembicaraan orang tuanya dengan kepala sekolah. Tiba-tiba pintu terbuka, kepala sekolah memandang Arsa dengan sinis dan bergegas pergi dari hadapannya. Tuan Asta menarik tangan Arsa dan melempar anaknya ke lantai karena mendapat berita Arsa yang berani bolos sekolah. Nyonya Arista berusaha membujuk suaminya, namun ia tidak dihiraukan sama sekali. Tuan Asta menelepon seseorang dalam kemarahannya itu. Arsa tidak berani bicara pada ayahnya atau ibunya, ia pun bertanya pada kakaknya. Namun, Arya pergi meninggalkan adiknya yang sedang dirundung kesedihan, merasakan tekanan dari segala sisi hanya sendirian, tidak ada yang mengerti dengan apa yang ia alami termasuk dirinya sendiri.
Setelah mentari kembali di pagi hari, Arsa bersama keluarganya pergi dengan semua barang-barang Arsa. Di perjalanan Arsa selalu bertanya kemana ia akan dibawa, namun tidak satupun yang menjawabnya termasuk ibunya. Kemudian mobil dihentikan di depan sebuah sekolah asrama yang terkenal dengan kedisiplinan siswa dan pengajarnya. Arsa diperkenalkan kepada kepala sekolah dan ia diberikan penjelasan mengenai segala aturan yang ditetapkan disana. Dia mengira, semua keluarganya akan tinggal bersamanya disana. Setelah perbincangan itu semua keluarganya memasuki mobil, saat Arsa ingin naik ke mobil, kepala sekolah memegang bahunya dan menyuruhnya turun. Ayahnya menutup pintu mobil dan segera pergi tanpa bicara pada anaknya. Arsa merasa terpukul dan melamun begitu lama memandang jalanan yang dilewati mobil ayahnya tadi hingga malam tiba. Kepala sekolah menyuruhnya masuk, bersiap untuk makan malam dan istirahat. Arsa masuk dengan lemas, tidak sedikit pun ia menyentuh makanan malam itu, saat semua temannya tidur, ia mulai menangis tanpa suara.
Saat pagi tiba, semua siswa sudah bersiap sendiri-sendiri. Arsa juga tidak ingin terlambat kali ini, namun ia terbiasa dengan kalung dasi yang biasa ia pakai dengan mudah. Sekarang ia memakai dasi yang harus ia anyam sendiri, seorang pengurus asrama datang menghampirinya dan membantunya memakai dasi tersebut. Semua siswa mulai memasuki kelas dan siap menerima pelajaran dari gurunya. Guru pun mulai menggambar satu bentuk “Bintang”, guru menyuruh siswanya untuk membuat kalimat sesuai dengan bentuk itu, dan siswa yang ditunjuk adalah Arsa. Arsa tampak ragu, namun ia berusaha untuk mencoba.
“Bintang adalah benda langit terindah yang meski hanya terlihat di malam hari, dia tidak pernah berhenti bersinar dengan sinarnya sendiri”
“Heyyyy..... Apa yang kau katakan, Nak? Itu sama sekali tidak benar! Cotte coba kau yang kalimatkan!”
“Baik pak! Bintang adalah benda langit mampu memancarkan cahayanya sendiri”
“Bagus Cotte! Dengar Arsa, kau harus belajar dari teman-temanmu disini jangan lain-lain!”
Arsa pun duduk kembali dengan kepala tertunduk. Dharma, teman sebangkunya merasa iba, “Arsa, kau tidak perlu berkecil hati. Pak Haris memang selalu mengulang kalimat itu saja. Dia memang pintar membuat kalimat, tapi dia tidak sehebat dirimu yang bisa membuat sajak”. Arsa tersenyum dan merasa terhibur dengan ketulusan Dharma, sejak saat itu mereka pun berteman.
Hari demi hari dijalani oleh Arsa di sekolah asrama yang disiplin itu. Namun, ia tetap tidak bisa mengikuti semua aturan yang berlaku meskipun ia berusaha. Arsa terus saja melihat huruf itu berlarian seolah mengejarnya, merayap di dinding, di kaki, dilehernya seperti serangga yang begitu mengerikan. Kata “Idiot” pun kini biasa didengar olehnya, guru-guru yang selalu menuntut dirinya untuk seperti ini, seperti itu, menekannya dari segala sisi, hingga dia merasa begitu tenggelam dan takut menghadapi dunia.
Setelah begitu lama terpisah dari keluarganya, akhirnya ia mendapatkan telepon.
“Halo Arsa, bagaimana kabarmu, Nak? Ibu sangat rindu padamu, Ibu minta maaf saat liburan nanti kami tidak bisa menemuimu karena kakakmu akan mengikuti lomba lari dan kami harus mengantarnya dan memberi dukungan. Doakan keberhasilan untuk kakakmu ya, Nak. Arsa...halo...halo Nak, apa kau mendengar ibu?”
Arsa begitu kecewa dengan kabar yang diterimanya, berharap akan dijemput dan disambut hangat oleh keluarganya, sebaliknya ia dihukum dengan terpisah begitu lama dengan keluarga. Dia kembali menangis tanpa suara, bahkan kini tanpa air mata. Jeritan ketakutan dalam hati kembali meradang dirinya kala pelajaran seni akan dimulai. Seorang pecinta lukisan seperti dirinya yang selalu hiasi hari dengan warna kini hanya tinggal hitam dan putih dalam dunianya. Kelas seni bahkan tidak ingin ia datangi meski sedetik saja, namun Dharma tetap membujuknya untuk tidak bolos kelas. Arsa mendengarkan perkataan Dharma, ia terus saja melihat keadaan Dharma yang tidak seperti dirinya, anak laki-laki yang mengalami kelumpuhan seumur hidupnya tetap berjuang untuk mengetahui rahasia dunia.
Suasana kelas yang begitu tegang terliat disetiap gerak-gerik siswa-siswa kelas 3 ini, seolah tidak ada guru yang lebih kejam dari guru seninya. Imajinasi yang selalu dibatasi dengan garis tepi, warna menjadi monokrom kala kelas seni dimulai. Tiba-tiba ada suara biola yang sangat nyaring dan indah, mengundang rasa penasaran siswa-siswa itu. Awalnya begitu jauh, kemudian semakin mendekat, namun beberapa saat kembali menjauh dan hilang. Semua anak mendekati tempat dimana suara itu terakhir terdengar, kecuali Arsa yang tetap dengan keterpurukannya. Datanglah seorang yang kerdil membawa biola dengan kostum yang sangat aneh, itu membuat semua anak terkejut dan menjauh ketakutan. Orang kerdil ini kembali memainkan biolanya dan bernyanyi untuk mendekati anak-anak. Semua anak itu begitu gembira dan terhibur dengan tingkah lucu orang kerdil ini, hingga mereka pun ikut bernyanyi dan menari dengannya. Namun sampai kegembiraan itu berakhir, Arsa tetap termenung di tempat duduknya. Hal itu membuat orang kerdil menjadi bingung dengan apa yang telah dialami Arsa.
Suasana kelas kembali tenang, orang kerdil pun memperkenalkan diri sebagai pengajar seni yang baru di sekolah itu, karena Tuan Zekar sedang bertugas di luar negeri. Koko Guna Kumara, itulah nama guru baru dengan perawakan kerdil itu. Setelah perkenalan, tiba-tiba Arsa dipanggil oleh Tuan Dena (guru matematika) untuk mengikuti pelajaran tambahan di kantor guru. Keluarnya Arsa dari ruang kelas itu bersamaan dengan bunyi bel istirahat. Semua siswa berhamburan keluar dari kelas, Tuan Koko pun ikut berlarian dengan mereka dengan begitu riangnya. Di tengah kebisingan siswa-siswa yang sedang bermain, Tuan Koko mendengar suara pukulan penggaris. Takk....takkk...takk...takkkk.. Begitu keras dan bertenaga, Tuan Koko pun mendekati suara itu dan melihat Arsa dipukuli oleh Tuan Herry (Guru Bahasa) di ruangannya. Tuan Koko langsung menghentikan Tuan Herry yang hendak melanjutkan pukulannya pada Arsa.
“Mengapa kau melakukan ini pada anak kecil?”
“Dengar! Arsa bukanlah bayi yang perlu dimaafkan atas semua kesalahannya”
“Maaf pak. Tapi sebaiknya bapak meminta izin kepada orang tuanya dan kepala sekolah sebelum melakukan ini”
Tuan Herry melempar penggaris dan meninggalkan tempat itu. Tuan Koko mendekati Arsa, namun ia berlari keluar dari ruangan itu dengan begitu ketakutan. Tuan Koko bingung dengan tingkah laku Arsa, kemudian ia segera mencari tahu semua informasi tentang Arsa di kantor guru. Dia membongkar semua lemari arsip siswa di sekolah itu, kemudian ia menemukan catatan dan buku-buku bekas Arsa. Disana terlihat caranya menulis yang buruk, bukan karena tulisannya yang tidak rapi tetapi karena huruf-huruf ditulis dengan kebalikannya. Apple ditulis Ebbla, Ada ditulis Aba, disana terlihat semakin ia mencoba untuk mengerjakannya semakin parah kesalahannya. Tuan Koko mengira bahwa Arsa mengalami disleksia yang merupakan gangguan/ketidakmampuan membaca dan menulis dengan benar. Tuan Koko memutuskan untuk memanggil orang tua Arsa dan mengundang kepala sekolah dalam pembicaraan yang akan mereka lakukan.
Dua hari kemudian orang tua dan kakak Arsa datang, kepala sekolah dan Tuan Koko sudah menunggu di ruangan kepala sekolah. Tuan Koko pun memulai pembicaraan dan langsung pada apa yang sebenarnya dialami Arsa, namun orang tua Arsa dengan cepat menyangkalnya dan meninggalkan ruangan dengan kemarahan. Kepala sekolah mencoba membujuk mereka tapi mereka tidak mendengarkan. Tuan Asta membuka pintu belakang mobil, dan beberapa kardusnya jatuh dari sana. Tuan Koko membantu Tuan Asta meskipun Tuan Asta tidak mengijinkannya, kemudian Tuan Koko melihat lukisan dan secarik kertas bertuliskan puisi yang sangat indah.
“Pak Asta, siapa yang membuat lukisan dan puisi ini?”
“Arsa melukis ini dan ia juga yang mengarang puisi ini, sedangkan aku hanya membantu menulisnya. Tapi ayah ingin membuangnya, pak”, jawab Arya.
Orang tua dan kakak Arsa bergegas pergi meninggalkan sekolah tanpa menanyakan atau menengok Arsa. Tuan Koko begitu heran, kemudian kembali ke ruang kepala sekolah dan menunjukkan lukisan serta puisi itu. Tuan Koko menceritakan semuanya dan ingin memberikan pembinaan khusus pada Arsa setiap hari Minggu. Kepala sekolah awalnya tidak mengijinkan, namun setelah berpikir panjang kepala sekolah akhirnya mengijinkan.
Setiap hari Minggu Tuan Koko mengajari dengan menggunakan berbagai aplikasi serta ilustrasi. Dia mengajari berhitung dengan permainan naik turun tangga, belajar mengenali huruf dengan melukisnya, sampai akhirnya Tuan Koko mulai melatih Arsa menulis di buku tulis lagi, awalnya Arsa tidak menginginkannya, tetapi Tuan Koko berhasil membujuknya dan Arsa  pun mulai belajar menulis beberapa huruf. Kemudian ia rangkai menjadi kata dan kalimat dengan bantuan Tuan Koko. Setelah hari mulai sore, Tuan Koko memberikan Arsa bermain game yang merangsang kecepatan dan ketepatannya. Minggu berikutnya, Arsa semakin mahir menulis bahkan ia bisa menulis dengan cepat tanpa kesalahan. Tuan Koko terharu melihat kegigihan Arsa, dia tidak menyangka Arsa bisa belajar dengan baik.
Beberapa bulan telah berlalu, tiba saatnya kenaikan kelas. Tuan Koko memberi saran kepada kepala sekolah untuk mengadakan lomba melukis yang tidak biasa, yaitu melukis dengan membuat puisi sebagai makna dari lukisan yang dibuat. Kepala sekolah langsung setuju tanpa berpikir panjang, Tuan Koko pun segera membuat pengumuman itu dan disebarkan kepada seluruh siswa, selain itu di dalam acara itu semua keluarga siswa wajib diundang untuk ikut serta dalam lomba. Arsa dan teman-temannya melihat pengumuman itu bersama-sama, awalnya Arsa merasa senang namun ia teringat bahwa orang tua terutama ayahnya sangat membencinya bahkan tidak ingin menemuinya sampai saat ini. Tuan Koko datang dan menepuk pundak Arsa dan tersenyum,“Arsa, orang tuamu pasti datang”. Arsa tersenyum dan memutuskan untuk mengikuti lomba itu.
Fajar hampir menampakkan dirinya, hari perlombaan pun tiba. Arsa mulai bersiap, berpakaian dan menyisir rambut dengan begitu rapi. Dia mengingat ketika ia pernah merasakan dipakaikan seragam dan saat ketika rambutnya disisir oleh ibunya, tanpa sadar ia menangis di depan cermin. Kemudian, dia pergi menyendiri dan memandang matahari terbit. Perlombaan sudah akan dimulai, namun Arsa belum tiba di taman sekolah. Semua siswa dan orang tuanya sudah berdatangan, bahkan orang tua dan kakak Arsa sudah tiba di taman. Tuan Koko sangat khawatir dengan Arsa, dia curiga jika Arsa mulai terpuruk lagi. Namun kecurigaan itu segera musnah, ketika Arsa terlihat datang dari kejauhan. Tuan Koko sangat bersemangat dan dengan segera memberikan kertas lukis, cat air, dan kertas tulis, namun Arsa menolak diberikan cat air karena ia ingin menggunakan cat yang diberikan oleh ayahnya. Kemudian ia pergi, duduk di bawah pohon untuk mencari ketenangan dan kebebasan, jauh dari orang tua, kakak dan teman-temannya.
Setengah jam telah berlalu, semua siswa, orang tua, dan guru-guru terlihat antusias mengikuti perlombaan. Ada yang membuat lukisan terlebih dahulu dan adapula yang fokus membuat puisi saja. Sedangkan Arsa, sudah hampir menyelesaikan lukisannya dan segera menulis puisinya. Waktu perlombaan telah berakhir, semua lukisan dan puisi dikumpulkan untuk dinilai dan pemenangnya akan diumumkan serta mendapatkan penghargaan, karyanya akan diterbitkan di majalah sekolah dan buku tahunan. Arsa mengharapkan lukisan dan puisinya akan menjadi juara kali ini. Namun saat pemenang diumumkan, ternyata bukanlah dirinya. Semua orang bertepuk tangan dengan keras dan meriah, kakak Arsa pun naik ke atas panggung dengan bangga. Namun Arsa begitu kecewa, ia tampak sedih dan hendak pergi menjauh. Tuan Koko kembali datang dan menepuk pundaknya.
“Heyyy...tapi tunggu sebentar. Ternyata juri baru memutuskan bahwa ada yang lebih layak menerima penghargaan ini. Dia adalah... Arsa Astarya. Ayo nak, naiklah..!”
Arsa terkejut, Tuan Koko pun mendampinginya untuk naik ke atas panggung. Semua orang bertepuk tangan dan semakin meriah, tampak begitu terkejut dengan perubahan Arsa. Dia diberikan kesempatan untuk menjelaskan isi dari lukisan dan puisinya,
“Namaku Arsa Astarya. Aku melukis seorang anak kecil yang duduk menepi namun tampak lebih berwarna daripada orang dewasa disekitarnya, anak itu seindah warna alam, langit dan dunia. Artinya setiap anak memiliki mimpi besar untuk dunia, setiap anak istimewa, namun terkadang ia tidak diterima karena satu kekurangan, yang bukan kekurangan baginya, tapi itu adalah hal yang unik untuk mengubah dunia ke arah yang lebih baik. Dunia yang indah tanpa keegoisan, ambisi dan gengsi. Akankah anak ini akan kalian biarkan beruang sendiri?”
“Tidak..!!!”, semua orang menjawabnya, orang tua dan kakak Arsa juga menjawab bersama-sama. Semua orang menangis dengan haru, orang tua dan kakak Arsa menghampiri dan memeluk Arsa, bahkan guru-guru yang sangat membencinya ikut menangis dan malu menemui Arsa. Arsa melihat ke segala arah mencari Tuan Koko. Tuan Koko kembali menepuk bahu Arsa, Arsa berbalik, menangis dan memeluk Tuan Koko, “Terima kasih, terima kasih, terima kasih, terima kasih pak...”
Tuan Koko terharu, ia menghapus air mata Arsa dan berkata, “Berenanglah bebas seperti ikan dan terbang lincah seperti burung, Nak. Jangan pernah menyerah, tetaplah seperti ini, seperti bintang di bumi”

*~* TAMAT *~*

Gianyar, 20 Juni 2017

Cerita ini terinspirasi dari film India berjudul “Taare Zameen Par” yang dirilis pada 21 Desember 2007 dengan Aamir Khan sebagai sutradara sekaligus turut andil sebagai tokoh guru dalam film ini. Saya tipikal yang mudah terbawa perasaan saat menonton film terutama yang dikemas dengan rapi dan detail seperti film ini.

Terima kasih kepada Aamir Khan telah memberikan kami kesempatan untuk menikmati karya yang luar biasa ini. Saya sangat menantikan karya terbaik lainnya.





Kardi Rahayu itulah nama saya, tinggal di Bali sedari kecil. Menulis merupakan hobi saya sejak SMA. Kelak, saya ingin menerbitkan tulisan saya agar bisa dibaca semua orang.

Jika kalian menyukai tulisan saya silahkan tinggalkan komentar dan apresiasi kalian di kolom komentar di bawah ini. Demikian pula apabila ada yang kurang dari karya saya, mohon diberikan komentar yang membangun. Jangan lupa di share juga ke teman-teman kalian ya!

Terima kasih pembaca cendekia ku!


Comments

Post a Comment

Saya mengharapkan kritik dan saran Anda demi kesempurnaan blog ini dan agar dapat dipergunakan sebagai referensi/pengetahuan tambahan sebagaimana mestinya.
Terima kasih.

Popular posts from this blog

Fakta Menghadapi Virus Corona (2019-nCoV atau COVID-19)

Tentu seluruh pembaca cendekia sudah tahu mengenai kabar mengejutkan virus Corona yang telah memasuki tanah air kita ini. Namun perlu kalian ketahui beberapa fakta untuk menghadapi virus Corona yang membandel ini. Banyak pertanyaan dan spekulasi yang muncul terkait penularan dan pencegahan virus ini, bahkan terkesan berlebihan. Lantas bagaimana saran dari lembaga kesehatan terkait isu ini? Mari kita simak beberapa fakta yang perlu kita ketahui untuk menghadapi virus Corona! Mohon disimak dengan baik dan fokus, karena ada beberapa poin yang menjadi catatan, jangan sampai kelewatan ya! Pembaca cendekia tetap perlu membaca informasi terbaru tentang wabah COVID-19, tersedia di situs web WHO (who.int) ya! Sebelumnya perlu diketahui virus corona adalah keluarga besar virus yang dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia. Beberapa virus corona pada manusia diketahui menyebabkan infeksi pernafasan mulai dari flu biasa hingga penyakit yang lebih parah seperti Midd...

NASKAH DRAMA KOMEDI BAHASA INDONESIA (4 ORANG)

Hallo teman, selamat datang di blog saya! :) Kali ini saya nge-post satu contoh drama yang agak klasik. Dijamin kalian suka deh..! Oh..ya, kenalin saya Kardi. Dalam cerita ini saya berperan menjadi orang kaya baru yang perawakannya lucu dan agak deso gitu :D Sebelumnya yang lagi baca, tau gak sih, apa itu DRAMA? Menurut pandangan saya Drama itu adalah suatu seni hiburan yang didalam pementasannya atau isi ceritanya terdapat makna atau pesan moral berharga bagi para penontonnya. Drama itu juga bisa dikatakan sebagai suatu seni hiburan yang dipentaskan oleh beberapa orang yang memiliki karakter sendiri/berbeda baik itu sebagai tokoh yang protagonis (baik), antagonis (jahat), maupun tritagonis (penengah/pembantu). Nah, sekarang menurut kamu apa itu DRAMA? Kalian bisa tulis jawaban kalian di kolom komentar. Ya udah. Langsung aja sekarang, silahkan baca naskah drama yang dimainkan oleh 4 orang dibawah.  Semoga bermanfaat. Jangan lupa like, coment or share ...

Punggung Samudera

Sekian lama berlayar Mengarungi samudera Berharap datang cahaya, terangi langkahku menuju bahagia Gelombang begitu tak tenang Menghantam menghancurkan sampan Membawa ku tenggelam, dalam begitu dalam, menuju dasar lautan Rasanya jiwa ini telah pulang Dasar lautan membuat ku sadar, gelap tak selamanya kelam Bak keelokan surga Tuhan, banyak cinta bermekaran, seakan tak akan memudar Sesuatu yang ku nantikan, datang setelah badai menyakitkan Sesuatu yang mengembalikan, diriku dan kebahagiaan Entah kapan gelombang selanjutnya tiba, menyadarkan ku dari mimpi dan khayalan Entah kapan dasar lautan akan geram, membuangku dan kembali menyakitkan Ingin bersiap, beranjak atau menetap Mencoba tegar, dalam bimbangnya dasar lautan Payangan, 13 Juni 2021 Filosofi: Cerita tentang suka duka kehidupan. Ada cinta yang seringkali membuat kita seakan tenggelam di dalamnya, menjadi budak cinta (bucin) seakan ingin menyerahkan segalanya untuk jiwa yang dipuja. Sampai akhirnya bahagia bertemu ego dan sesal, kem...