“.... mengakhiri
kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan memperbaiki gizi, dan mempromosikan
pertanian berkelanjutan”, merupakan salah satu tujuan dari proposal Sustainable Development Goals (SDGs)
yang disertai dengan target, “pada tahun 2030 mengakhiri semua bentuk
kekurangan gizi, termasuk mencapai target pada tahun 2025 yang disepakati
secara internasional untuk stunting and
wasting pada anak di bawah usia 5 tahun” (Horton dan Steckel, 2013). Namun,
dunia saat ini berada dalam jalur yang buruk untuk memenuhi target stunting global dengan mengurangi jumlah
anak di bawah usia 5 tahun yang menderita stunting
sebesar 40% pada tahun 2025. Berdasarkan
hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013 sebanyak 37,2% balita
mengalami stunting di Indonesia. Untuk
itu, sasaran pokok Rencana Pembangunan jangka Menengah tahun 2015 sampai 2019
dalam upaya peningkatan status gizi masyarakat termasuk penurunan prevalensi
balita pendek menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional (Infodatin RI,
2016).
Masalah balita pendek
terkait dengan adanya masalah gizi kronis yang dipengaruhi dari kondisi ibu
atau calon ibu dan
masa janin yang menyebabkan
gangguan pertumbuhan dalam kandungan sehingga berat lahir rendah maupun panjang
lahir pendek menigkatkan risiko terjadinya stunting.
Kondisi masa bayi atau balita seperti pemberian ASI eksklusif selama 6
bulan juga mempengaruhi risiko terjadinya stunting,
serta
penyakit yang diderita selama masa balita. Masalah gizi yang terjadi sebanding dengan kondisi sosial ekonomi
keluarga yang rendah (Infodatin RI, 2016). Oleh karena itu, diperlukan upaya
perbaikan yang meliputi upaya pencegahan dan pengurangan gangguan secara
langsung seperti intervensi gizi spesifik, ini memerlukan kontribusi dari
berbagai sektor (kesehatan, ketahanan pangan, ketersediaan air bersih dan sanitasi,
penanggulangan kemiskinan, pendidikan, sosial, dan sebagainya).
Sumber: www.sehatnegeriku.kemkes.go.id
Stunting Wujud Kegagalan Indonesia
Stunting
merupakan manifestasi kerusakan fisik dan kognitif yang parah serta
ireversibel, ini disebabkan oleh kekurangan gizi kronis di awal kehidupan anak
dan seringkali dimulai sebelum kelahiran. Kejadian ini dapat muncul karena beberapa
faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting
pada balita, seperti panjang badan lahir, riwayat ASI Eksklusif, pendapatan
keluarga, pendidikan ibu, dan pengetahuan gizi ibu. Faktor genetik hanya
berperan 20%
sampai 30% dalam kejadian stunting
(Infodatin RI, 2016). Tanda dan
gejala kejadian stunting
tidak spesifik, seperti berat lahir rendah dan panjang lahir pendek, sering mengalami infeksi penyakit
akibat kekurangan kualitas asupan zat gizi dalam waktu yang lama dan sanitasi
yang kurang higienis. Indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui status
gizi balita pada kejadian stunting dengan
yaitu dengan pengukuran antropometri dengan keadaan tinggi badan menurut umur
(TB/U) sangat pendek hingga melampaui defisit dua standar deviasi (SD).
Kerugian Indonesia dengan kehadiran stunting dapat dirasakan dengan jelas
apabila dibandingkan dengan anak yang kerdil, anak yang memiliki gizi baik
menyelesaikan sekolah lebih lama, belajar lebih baik, dan memperoleh upah lebih
tinggi di masa dewasa, sehingga meningkatkan kemungkinan bahwa dia akan lolos
dari kehidupan yang miskin (Khoeroh
dan Indriyanti, 2017).
Dilansir dari Hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) diperoleh prevalensi balita pendek di
Indonesia tahun 2007 sebanyak 36,8%, tahun 2010 sebanyak 35,6%, sedangkan tahun
2013 meningkat menjadi 37,2%. Provinsi Nusa Tenggara Timur (51,7%), Selawesi
Barat (48%), Nusa Tenggara Barat (45,3%), memiliki persentase tertinggi tahun
2013. Berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2015, sebesar 29%
balita di Indonesia termasuk kategori pendek dengan persentase tertinggi di
Provinsi NTT dan Sulawesi Barat. Melihat prevalensi balita pendek yang melebihi
20% menurut World Health Organization
ini dikategorikan masih tinggi dan termasuk masalah kesehatan yang harus segera
ditanggulangi. Bahkan jika dibandingkan dengan negara tetangga (Myanmar,
Vietnam, Malaysia, Thailand dan Singapura), Indonesia juga memiliki prevalensi
yang tertinggi. Dilansir dari Global Nutrition Report (2014), Indonesia
termasuk dalam 17 negara di antara 117 negara yang mempunyai tiga masalah gizi
(stunting, wasting, overweight) pada
balita (Infodatin RI, 2016).
Kesadaran
masyarakat yang kurang mengenai masalah stunting
dikaitkan dengan status pendidikan ibu yang rendah sehingga tidak mengetahui
kualitas makanan yang diberikan pada bayi. Di Indonesia khususnya di Nusa
Tenggara Timur ibu memegang peranan yang kuat dalam kebutuhan rumah tangga baik
menjaga konsumsi maupun status gizi rumah tangga atau sebagai “gate keeper” yang terlihat dari
pengaruh pengetahuan gizi ibu, akses informasi gizi dan kesehatan, dan alokasi
pengeluaran bahan pangan dan non pangan (Rahayu A. dan Khairiyati, 2014). Padahal dalam suatu rumah tangga peran
ayah juga sangat berpengaruh disamping memenuhi nafkah juga seharusnya mengetahui
pengaruh kualitas makanan terhadap keluarganya (Herwanti, 2017). Suatu program, agar berjalan sesuai dengan target
sebaiknya terbentuknya rasa saling melengkapi di dalam keluarga tersebut
sehingga semua mempunyai peran yang sama di dalam kebutuhan kualitas gizi tidak
hanya untuk bayi tetapi juga keluarga (Mitra, 2015).
Keadaan sosial
ekonomi keluarga yang rendah berhubungan dengan ketersediaan bahan pangan
maupun non pangan di dalam keluarga tersebut. Dalam program SUN, intervensi
yang dilakukan untuk mengurangi angka kejadian stunting di Asia Tenggara termasuk Indonesia yaitu dengan
meningkatkan ketersediaan dan akses makanan dengan kualitas gizi yang memadai
melalui kolaborasi antara berbagai sektor baik swasta maupun publik dimana
ASEAN memegang peranan penting untuk memfasilitasi. Sayangnya, pembagian akses
ini belum terbagi rata pada beberapa wilayah di Indonesia khususnya wilayah
dengan angka stunting yang masih
tinggi seperti di Nusa Tenggara Timur. Sebaiknya pemerintah yang bergerak dalam
ASEAN lebih menggerakkan semua kelompok masyarakat tidak hanya di pemerintah
namun juga ke kelompok masyarakat yang lebih kecil seperti puskesmas ataupun
lembaga desa dan dusun yang disampaikan melalui sosialisasi
dan pendekatan. Dengan itu
diharapkan kualitas informasi yang diberikan lebih merata, menyeluruh, dan
dapat diterima serta diaplikasikan dengan lebih baik.
Berdasarkan rangkuman informasi dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) dari Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam topik pembicaraan "Pencegahan Stunting terkait Masa Depan Bangsa (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi Tahun 2018)", gizi seimbang dapat diperoleh sesuai dengan ilustrasi dibawah ini. Ini berlaku untuk anak-anak hingga dewasa, terutama untuk ibu hamil. Karena seperti fakta sebelumnya, bahwa seribu hari pertama kehidupan merupakan penentu yang vital terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, pencegahan stunting, sehingga nantinya dapat meningkatkan daya saing dan produktivitas negara.
Sumber: www.sehatnegeriku.kemkes.go.id
Mengapa
Stunting Dicegah?
Upaya intervensi
spesifik yang paling efektif untuk balita pendek fokus pada kelompok 1.000 Hari
Pertama Kehidupan (ibu hamil, ibu menyusui, dan anak 0-23 tahun). Ini meliputi
270 hari selama kehamilan dan 730 hari pertama setelah bayi dilahirkan
merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan, sehingga sering pula
disebut sebagai periode emas, periode kritis, dan window of opportunity. Apabila terjadi kegagalan dalam periode emas
ini akan menimbulkan dampak jangka pendek (terganggunya perkembangan otak,
fisik, dan metabolisme), maupun jangka panjang (menurunnya kemampuan kognitif
dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, berisiko
tinggi untuk mengalami diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh
darah, kanker, stroke, disabilitas pada usia tua, serta kualitas kerja yang
kurang kompetitif sehingga mengakibatkan rendahnya produktivitas ekonomi.
Secara global,
kejadian stunting menjadi perhatian
khusus tidak terkecuali di Indonesia. Program penanggulangan stunting difokuskan pada gerakan
perbaikan gizi 1000 hari pertama kehidupan yang disebut Scaling Up Nutrition (SUN) atau Gerakan Nasional Sadar Gizi dalam
Rangka Percepatan Perbaikan Gizi Pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000
Hari Pertama Kehidupan dan disingkat Gerakan 1000 HPK) dalam mencapai Tujuan
Pembangunan Milenium/MDGs (Goal 1) atau sekarang dikenal dengan Sustainable Development Goals
(SDGs). Intervensi yang dilakukan SUN
mencakup dua hal yaitu intervensi spesifik yang difokuskan pada gerakan 1000
HPK dalam jangka pendek meliputi pemberian imunisasi, promosi pemberian ASI
eksklusif, monitoring balita dan ibu di Posyandu dan intervensi sensitif yang
difokuskan pada pembangunan dan sektor kesehatan masyarakat umum meliputi
penyediaan air bersih, penanggulanan kemiskinan, sarana sanitasi serta yang
lainnya. Dalam perjalannya, target pengurangan angka stunting melalui program SUN belum mencukupi untuk pemenuhan target
pengurangan stunting tahun 2025
sebanyak 40%, hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat pada
masalah stunting yang terjadi akibat
tidak terpenuhinya kebutuhan gizi pada anak dan keadaan sosial ekonomi keluarga
yang rendah (Mitra, 2015).
So?
GIAT SIGAP, untuk Solusi Stunting di
Indonesia
Seiring dengan kemajuan IPTEK, program juga seharusnya dikemas dengan lebih
mampu menarik minat masyarakat untuk melihat, membaca, memahami, bahkan
menerapkan program-program yang ada agar sesuai dengan tujuan serta target yang
ingin dicapai termasuk untuk pencegahan angka kejadian stunting. Program yang sudah ada dan terlaksana sebelumnya harus
dikaji lebih lanjut dan dikemas dengan bahasa yang lebih menarik dan diterima
oleh masyarakat luas. So? GIAT SIGAP merupakan program inovasi yang diadopsi
melalui program SUN atau 1000 HPK yang berarti Sosialisasi dan
pendekatan Gizi dari
Tokoh Masyarakat dan pemberian Suplemen, Imunisasi, kualitas Gizi, ASI
eksklusif serta kegiatan Posyandu.
Pencegahan angka
kejadian stunting difokuskan pada
intervensi spesifik dan intervensi sensitif. Intervensi sensitif ditujukan
kepada masyarakat umum salah satu caranya dengan pemberian informasi melalui
sosialisasi dan pendekatan. Mengingat pada program sebelumnya pelaksanaan sosialisasi perlu dikembangkan tidak hanya sampai
pemerintah yang memberikannya kepada puskesmas tetapi dilanjutkan sampai ke
tokoh masyarakat setiap wilayah sehingga sosialisasi dan
pendekatan gizi tokoh
masyarakat (So? GIAT) dapat menjadi intervensi yang sensitif dan lebih menarik
perhatian masyarakat. Hal ini dipertimbangkan mengingat tidak semua wilayah
memiliki jarak perjalanan yang strategis untuk sampai di puskesmas sehingga pemberian sosialisasi dan
pendekatan ini tidak tersampaikan
dengan merata dan luas. Oleh karena itu, pada program inovasi ini informasi
yang disampaikan pemerintah pada puskesmas juga disebarluaskan pada tokoh
masyarakat setempat yang tentunya akan lebih didengarkan oleh masyarakat
wilayahnya seperti kepala desa, kepala dusun, tenaga
kesehatan, maupun tenaga pengajar
yang ada atau tinggal di wilayah tersebut maupun profesi lain yang mampu untuk
didengarkan oleh masyarakat sekitar. Dengan program ini diharapkan masyarakat
dapat lebih mengerti dan sadar akan pentingnya kualitas gizi terutama untuk
pencegahan angka kejadian stunting. Karena
kualitas gizi dalam hal ini
tidak hanya asupan pangan yang cukup tetapi juga kebutuhan non pangan yang baik
seperti sarana sanitasi, penyediaan air bersih, maupun pendidikan.
Intervensi spesifik
inovasi ini yaitu dengan pemberian suplemen, imunisasi, kualitas gizi, ASI
eksklusif, dan kegiatan posyandu. Pemberian suplemen selama ibu hamil berupa
asam folat, beberapa mikronutrien, kalsium, energi, dan protein serta bayi, balita,
dan anak-anak berupa pemberian mikronutrien, vitamin A, zinc, zat besi, dan
penggunaan garam beryodium. Pemberian suplemen tersebut sangat penting untuk
pertumbuhan dan perkembangan janin sampai dengan anak-anak terutama untuk
pembentukan tulang sehingga panjang lahir anak dan berat lahir anak mencukupi.
Namun, pemberian suplemen serta imunisasi belum tersebar secara merata sehingga difokuskan pada
kegiatan posyandu maupun sosialisasi dan pendekatan melalui tokoh masyarakat.
Sumber: www.sehatnegeriku.kemkes.go.id
Imunisasi menjadi
hal yang sangat krusial karena kesadaran masyarakat yang kurang mengenai pentingnya pemberian imunisasi yang tepat waktu dan
sasaran. Melalui sosialisasi dan posyandu diharapkan penyebaran imunisasi dapat
lebih merata dan lebih mudah. Kualitas gizi yang baik dan mencukupi berhubungan
dengan pengetahuan ibu dan ayah baik dari segi pendidikan maupun pendapatan
yang rendah sehingga sering tidak terpenuhinya zat gizi yang diperlukan
keluarga terutama ibu saat hamil dan balita serta anak-anak. Pemberian ASI
eksklusif juga lebih penting dibandingkan susu formula, karena tidak
memerlukan biaya lebih dan ASI mengandung hampir semua
zat gizi yang diperlukan bayi sampai usia 6 bulan, sehingga dapat dilanjutkan
dengan pemberian MP-ASI. Progam inovasi yang dikemas ini menitik beratkan
melalui posyandu dimana perlunya
kerjasama antar pemerintah, puskesmas, dan tokoh masyarakat untuk mengkaji
kegiatan posyandu tidak hanya dapat dilakukan di puskesmas tetapi juga pada
setiap desa maupun dusun mengingat penanggungjawab posyandu adalah kepala desa. Pemerataan kegiatan posyandu sangat penting
karena perannya yang kuat baik dari pemberian informasi atau sosialisasi,
pemberian suplemen, kualitas gizi, imunisasi, dan ASI eksklusif.
Dengan solusi ini, saya berharap Indonesia Sehat dapat tercapai dengan memulai langkah kecil memperbaiki masa depan
generasi muda, yaitu menurunkan dan mencegah kejadian stunting (balita lahir
pendek). Sehingga terlahir generasi dengan produktivitas dan kualitas lebih
baik kedepannya. Untuk mencapai tujuan ini tentunya diperlukan kesadaran dan
kerjasama berbagai pihak untuk menyukseskan program yang dikemas melalui So?
GIAT SIGAP. Pencegahan stunting tentu lebih penting untuk membangun generasi
bangsa yang lebih GIAT dan SIGAP dimasa mendatang.
Sumber: www.sehatnegeriku.kemkes.go.id
Daftar
Pustaka
Herwanti
E 2017, Hubungan Peran Ayah Dalam Upaya
Perbaikan Gizi Dengan Status Gizi Balita Pada Masyarakat Budaya Patrilineal Di
Desa Toineke Dan Tuafanu Puskesmas Kualin Kabupaten Timor Tengah Selatan. Poltekkes Kemenkes Kupang.
Horton S. dan R. Steckel 2013, “Global Economic Losses Attributable to Malnutrition 1900–2000 and Projections to 2050.” In The Economics of Human Challenges, ed B. Lomborg. Cambridge, U.K.: Cambridge University Press.
Khoeroh
H. dan Indriyanti D 2017, Evaluasi Penatalaksanaan Gizi Balita
Stunting Di Wilayah Kerja Puskesmas Sirampog. Prodi Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Semarang.
Mitra 2015, Permasalahan Anak Pendek (Stunting) dan Intervensi Untuk Mencegah Terjadinya Stunting. LPMM Stikes Hang Tuah Pekanbaru
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI (Infodatin RI) 2016, Situasi Balita Pendek. Jakarta Selatan.
Rahayu A. dan Khairiyati L 2014, Risiko Pendidikan Ibu Terhadap Kejadian Stunting Pada Anak 6-23 Bulan. FK Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru, Banjarmasin.
www.sehatnegeriku.kemkes.go.id
Comments
Post a Comment
Saya mengharapkan kritik dan saran Anda demi kesempurnaan blog ini dan agar dapat dipergunakan sebagai referensi/pengetahuan tambahan sebagaimana mestinya.
Terima kasih.